Dua Bentuk Respon Agama
Dalam konteks agama, misalnya, merujuk pada
pandangan sejumlah pemikir keagamaan, pengaruh globalisasi terhadap
agama, setidaknya dapat dilihat dari munculnya dua respons agama yang
tampaknya berlawanan. Respon pertama, komunitas agama bisa atau mampu
merambah dunia global. Artinya, mereka ‘menerima’ globalisasi sebagai
bagian dari proses hidup yang sudah digariskan Tuhan. Dan manusia,
sebagai khalifah, ditugaskan untuk “mengawal”-nya. Ada pandangan
kultural yang menjadi alasan kelompok ini. Bahwa sejatinya semua ummat
manusia dengan beragam jenisnya ada dalam kebersamaan. Mereka dapat
belajar satu sama lain sehingga dapat menjalin kerja sama sehingga pada
akhirnya mengantar umat beragama pada kesatuan kemanusiaan sebagai satu
keluarga.
Adapun respon kedua adalah kecenderungan
sebaliknya. Yakni kecenderungan komunitas agama tertentu merespons
globalisasi dengan menolak, mengasingkan diri sembari menekankan
keberbedaan. Fenomena ini, dapat kita lihat dan rasakan dari muncul dan
menguatnya fundamentalisme agama, baik di komunitas Islam, Kristen,
Hindu, dan agama lainnya serta beragam “fundamentalis” nasionalisme
disejumlah tempat. Hal itu menjadi fakta yang tak terbantahkan. Selain
itu, lahir pula animo untuk mengglobalkan komunitas agama tertentu,
seperti penyebaran idiologi “khilafah” dan juga kristenisasi.
Apa yang mesti dilakukan?
Agar semua agama benar-benar dapat efektif
membendung arus globalisasi, maka komunitas-komunitas ummat beragama
semestinya dapat bekerjasama dengan baik. Seorang panelis mengingatkan,
agar masyarakat dunia jangan terus terjebak pada dikotomi Barat-Timur.
Barat dan Timur harus bekerja sama untuk membangun peradaban, jelasnya.
Hendaknya komunitas antarumat beragama dapat
bekerja sama dalam menghadapi tantangan globalisasi yang semakin
serius. Komunitas antarumat beragama harus berbagi tantangan yang sama
karena globalisasi memunculkan berbagai persoalan yang besar. Dialog
antara Islam dan Barat perlu dikembangkan dan isu-isu lokal serta global
perlu dibicarakan bersama-sama, ungkap katanya. “Semua itu diharapkan
dapat menghindarkan terjadinya perang simbol antarumat beragama. Jika
berbagai komunitas sudah terjebak pada fenomena itu, yang terjadi hanya
konflik” jelasnya.
Dengan demikian, yang wajib dilakukan saat ini adalah bagaimana komunitas antarumat beragama lebih mendalami semangat etis dan paradigma perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Sebagai langkah awal, perlu dilakukan perubahan kultur yang serba-eksklusif menjadi serba-inklusif. Komunitas antarumat beragama harus membuang jauh konsepsi agama yang sempit dan eksklusif yang cenderung membatasi kebajikan sebagai milik “kita” saja, dan “mereka” tak punya.
Dengan demikian, yang wajib dilakukan saat ini adalah bagaimana komunitas antarumat beragama lebih mendalami semangat etis dan paradigma perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Sebagai langkah awal, perlu dilakukan perubahan kultur yang serba-eksklusif menjadi serba-inklusif. Komunitas antarumat beragama harus membuang jauh konsepsi agama yang sempit dan eksklusif yang cenderung membatasi kebajikan sebagai milik “kita” saja, dan “mereka” tak punya.
Bagaimanapun, realitas sosial kini telah
mendorong masyarakat untuk menyingkirkan sikap eksklusif dan
mengembangkan orientasi universal terhadap agama sehingga dapat lebih
mengakomodasi “yang lain” (the other). Hanya dengan itu tantangan
globalisasi akan mampu dijawab oleh komunitas ummat beragama. [Abdul
Hamid Razak]
Sumber : Bulletin al-Hurriyah Edisi III/Juli 2008
0 komentar:
Posting Komentar