Advertisement Block

Pages

Jumat, 22 Februari 2013

Dua Bentuk Respon Agama


Dalam konteks agama, misalnya, merujuk pada pandangan sejumlah pemikir keagamaan, pengaruh globalisasi terhadap agama, setidaknya dapat dilihat dari munculnya dua respons agama yang tampaknya berlawanan. Respon pertama, komunitas agama bisa atau mampu merambah dunia global. Artinya, mereka ‘menerima’ globalisasi sebagai bagian dari proses hidup yang sudah digariskan Tuhan. Dan manusia, sebagai khalifah, ditugaskan untuk “mengawal”-nya. Ada pandangan kultural yang menjadi alasan kelompok ini. Bahwa sejatinya semua ummat manusia dengan beragam jenisnya ada dalam kebersamaan. Mereka dapat belajar satu sama lain sehingga dapat menjalin kerja sama sehingga pada akhirnya mengantar umat beragama pada kesatuan kemanusiaan sebagai satu keluarga.
Adapun respon kedua adalah kecenderungan sebaliknya. Yakni kecenderungan komunitas agama tertentu merespons globalisasi dengan menolak, mengasingkan diri sembari menekankan keberbedaan. Fenomena ini, dapat kita lihat dan rasakan dari muncul dan menguatnya fundamentalisme agama, baik di komunitas Islam, Kristen, Hindu, dan agama lainnya serta beragam “fundamentalis” nasionalisme disejumlah tempat. Hal itu menjadi fakta yang tak terbantahkan. Selain itu, lahir pula animo untuk mengglobalkan komunitas agama tertentu, seperti penyebaran idiologi “khilafah” dan juga kristenisasi.
Apa yang mesti dilakukan?
Agar semua agama benar-benar dapat efektif membendung arus globalisasi, maka komunitas-komunitas ummat beragama semestinya dapat bekerjasama dengan baik. Seorang panelis mengingatkan, agar masyarakat dunia jangan terus terjebak pada dikotomi Barat-Timur. Barat dan Timur harus bekerja sama untuk membangun peradaban, jelasnya.
Hendaknya komunitas antarumat beragama dapat bekerja sama dalam menghadapi tantangan globalisasi yang semakin serius. Komunitas antarumat beragama harus berbagi tantangan yang sama karena globalisasi memunculkan berbagai persoalan yang besar. Dialog antara Islam dan Barat perlu dikembangkan dan isu-isu lokal serta global perlu dibicarakan bersama-sama, ungkap katanya. “Semua itu diharapkan dapat menghindarkan terjadinya perang simbol antarumat beragama. Jika berbagai komunitas sudah terjebak pada fenomena itu, yang terjadi hanya konflik” jelasnya.
Dengan demikian, yang wajib dilakukan saat ini adalah bagaimana komunitas antarumat beragama lebih mendalami semangat etis dan paradigma perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Sebagai langkah awal, perlu dilakukan perubahan kultur yang serba-eksklusif menjadi serba-inklusif. Komunitas antarumat beragama harus membuang jauh konsepsi agama yang sempit dan eksklusif yang cenderung membatasi kebajikan sebagai milik “kita” saja, dan “mereka” tak punya.
Bagaimanapun, realitas sosial kini telah mendorong masyarakat untuk menyingkirkan sikap eksklusif dan mengembangkan orientasi universal terhadap agama sehingga dapat lebih mengakomodasi “yang lain” (the other). Hanya dengan itu tantangan globalisasi akan mampu dijawab oleh komunitas ummat beragama. [Abdul Hamid Razak]
Sumber : Bulletin al-Hurriyah Edisi III/Juli 2008

0 komentar:

Posting Komentar